Kaidah Ke-44 : Ibadah Bertingkat-tingkat Sesuai Dengan Maslahat yang Mengiringinya
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Keempat Puluh Empat
الْعِبَادَاتُ تَتَفَاضَلُ بِاعْتِبَارِ مَا يَقْتَرِنُ بِهَا مِنَ الْمَصَالِحِ
Ibadah bertingkat-tingkat sesuai dengan maslahat yang mengiringinya
MAKNA KAIDAH
Secara umum kaidah ini menjelaskan tentang perbedaan tingkatan satu ibadah dengan ibadah lainnya. Perbedaan tingkat keutamaan ini tergantung pada maslahat dan kebaikan yang terkandung. Semakin besar maslahat yang terkandung dalam suatu ibadah maka akan semakin tinggi dibandingkan ibadah lainnya.
Dengan memahami kaidah ini seorang penuntut ilmu akan mampu menentukan ibadah mana yang lebih utama daripada yang lain. Karena adakalanya suatu ibadah yang asalnya lebih utama berubah menjadi lebih rendah keutamaannya, sebaliknya ibadah yang semula kurang utama menjadi lebih utama. Semua itu tergantung kepada ada atau tidaknya maslahat tertentu dalam ibadah tersebut. Maka seyogyanya bagi penuntut ilmu untuk memberikan perhatian kepada masalah maslahat, terlebih lagi perhatian terhadap maslahat dan mafsadat adalah inti syariat ini. Keberadaan syariat tiada lain hanya untuk menetapkan maslahat dan menyempurnakannya serta meniadakan mafsadat dan meminimalkannya[1]. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dalam Manzhûmah al Qawâ’id al Fiqhiyyah :
الـدِّيْـنُ مَـبْـنِيٌّ عَـلَـى الْـمَصَـالِـحِ
فِـي جَـلْبِـهَـا وَالـدَّرْءِ لِــلْـقَبَـائِـحِ
Agama dibangun di atas maslahat
Untuk mendatangkan maslahat itu dan menolak mafsadat
DALIL YANG MENDASARINYA
Banyak dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini, diantaranya firman Allâh Subhnahu wa Ta’ala :
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allâh, karena mereka nanti akan memaki Allâh dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. [Al An’âm/6:108].
Tidak diragukan bahwa mencela sesembahan orang-orang musyrik adalah suatu amalan utama, dan meninggalkannya adalah amalan yang kurang utama. Namun, ketika celaan tersebut mengakibatkan mafsadat yang lebih besar, maka perkaranya menjadi terbalik. Maksudnya, perbuatan mencela sesembahan orang-orang musyrik yang semula amalan utama menjadi kurang utama karena ada mafsadat yang mengiringinya, sedangkan meninggalkannya menjadi amalan yang lebih utama karena ada maslahat.
Demikian pula disebutkan dalam hadits Abu Mas’ûd al-Anshari, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدُ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Yang paling berhak menjadi imam pada suatu kaum adalah yang paling banyak hafalan al-Qur’annya. Jika mereka sama dalam hafalan maka yang paling berilmu tentang sunnah. Jika mereka sama dalam sunnah maka yang paling dahulu berijrah. Jika mereka sama dalam hijrah maka yang paling dahulu masuk Islam. Dan janganlah seseorang menjadi imam di wilayah kekuasaan orang lain, dan janganlah ia duduk di tempat duduk khususnya di dalam rumahnya kecuali dengan izinnya.[3]
Dalam hadits tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan urutan orang yang paling berhak menjadi imam. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang memiliki kedudukan khusus seperti pemimpin umum, atau pemimpin pasukan perang, atau imam tetap suatu masjid, atau pemilik rumah, lebih didahulukan menjadi imam daripada orang lain, meskipun selainnya lebih utama dari sisi kriteria secara umum. Maka orang yang lebih rendah kriterianya, jika ia adalah orang yang mempuyai kedudukan khusus seperti pemimpin umum, atau pemilik rumah, imam tetap masjid, dan semisalnya dalam kondisi ini lebih diutamakan untuk menjadi imam. Dan maslahat yang terkandung di dalamnya adalah terwujudnya persatuan dan terbendungnya perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin.
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha :
يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيْثُوْ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لأَمَرْتُ بِالْبَيتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيْهِ مَا أَخْرَجَ مِنْهُ وَ أَلْزَقْتُهُ بِالأَرْضِ وَ جَعَلْتُ لَهُ بَابًا شَرْقِيًّا وَ بَابًا غَرْبِيًّا فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيْمَ
Wahai Aisyah, kalau bukan karena kaummu baru lepas dari kejahiliyahan, sungguh aku ingin memerintahkan mereka menghancurkan Ka’bah lalu membangunnya, dan aku masukkan ke dalamnya apa yang telah dikeluarkan darinya, dan aku buat pintunya menempel dengan tanah, serta aku buatkan pintu timur dan barat, dan aku sesuaikan dengan pondasi Ibrahim[4]
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang perkara yang lebih utama yaitu pembangunan Ka’bah dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam hadits, sementara perkara yang tidak utama yaitu membiarkan bangunan Ka’bah dengan tipe yang ada saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ini. Akan tetapi perkara yang tidak utama ini berbalik menjadi lebih utama karena ada maslahat syar’iyah, yaitu supaya orang-orang yang baru masuk Islam tidak terfitnah dengan perubahan Ka’bah.
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Berikut ini adalah beberapa contoh darinya :
1. Pada asalnya membaca al-Qur’an lebih utama daripada dzikir. Namun dalam beberapa keadaan hukum asal ini bisa berubah. Misalnya ketika seseorang dalam keadaan ruku’ atau sujud maka yang lebih utama adalah membaca dzikir yang khusus ketika itu, bahkan membaca al-Qur’ân ketika itu terlarang secara syar’i.
2. Telah maklum bahwa shalat jenazah mempunyai pahala dan ganjaran yang besar, yaitu mendapatkan pahala satu qirath semisal gunung uhud sebagaimana disebutkan dalam hadits.[5] Dan meninggalkan shalat jenazah adalah perkara yang tidak utama karena ia tidak mendapatkan pahala tersebut. Namun jika ada maslahat syar’iyah maka ketika itu lebih utama meninggalkannya. Misalnya jika si mayit adalah orang yang masih punya tanggungan hutang, atau ahli bid’ah, pelaku bunuh diri, atau pelaku dosa besar. Dianjurkan kepada para pemimpin, tokoh masyarakat, ahli ilmu, dan ahli ibadah untuk tidak menyhalatinya karena ada maslahat yang besar. Yaitu menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengikuti perbuatan si mayit. Jadi, meninggalkan shalat jenazah dalam keadaan tesebut menjadi lebih utama daripada melaksanakannya, karena ada maslahat yang mengiringinya.[6]
Pada asalnya menyembunyikan sedekah lebih utama daripada menampakkannya. Berdasarkan firman Allâh Subhnahu wa Ta’ala.
وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. [al-Baqarah/2:271]
Disebutkan dalam hadits Abu Umâmah al-Bahiliy riwayat at-Thabrani, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَصَدَقَةُ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ
Dan sedekah yang dirahasiakan akan meredam kemurkaan Rabb.[7]
Namun suatu ketika, menampakkan sedekah bisa menjadi amalan yang lebih utama daripada merahasiakannya. Yaitu, apabila hal itu diringi maslahat tertentu, misalnya mendorong dan memotivasi manusia untuk ikut mengeluarkan sedekah atau menolak persangkaan bakhil yang tertuju pada orang yang mengeluarkan sedekah itu, dan semisalnya.[8]
3. Yang lebih utama dalam pelaksanakan shalat adalah dilaksanakan pada awal waktunya. Dan menunda pelaksanaan sampai akhir waktunya adalah perkara yang tidak utama. Namun, jika mengakhirkannya mengandung maslahat tertentu yang lebih kuat, maka hal itu berubah menjadi yang lebih utama. Misalnya jika seseorang mengakhirkan shalat karena di akhir waktu ia bisa mendapatkan air untuk berwudhu, sedangkan di awal waktu ia tidak menemui air. Atau karena di akhir waktu ia bisa melaksanakan shalat dengan menutup aurat secara sempurna, sedangkan di awal waktunya tidak. Atau karena di awal waktu shalat zhuhur cuacanya sangat panas [9]. Atau mengakhirkannya supaya bisa menghafalkan surah al-Fâtihah dan lafaz tasyahud bagi orang yang baru masuk Islam. Maka ketika itu amalan yang semula asalnya kurang utama menjadi amalan yang lebih utama.[10]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarh al-Qawâ’id as-Sa’diyah, Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah Az Zamil, Dar Athlas Al Kahadhra’ li an-Nasyri wa at-Tauzi’, hlm. 23.
[2]. Manzhûmah al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (dalam al-Majmû’ah al-Kâmilah li Muallafati as-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di), Cet. II, 1992 M/1412 H, Markaz Shalih bin Shalih ats-Tsaqafi, Unaizah, 4/130.
[3]. HR. Muslim dalam Kitab al-Masajid wa Mawadhi’ as-Shalah, no 673.
[4]. HR. Muslim, no. 1333.
[5]. Tentang pahala menghadiri jenazah disebutkan dalam hadits Abu Hurairah riwayat al-Bukhari dalam Kitab as-Shalah, Bab Fadhlu Ittiba’i al-Janazah, no. 1325.
[6]. Lihat fatwa berkaitan dengan permasalahan ini dalam Fatâwâ al-Lajnah ad-Dâimah li al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’, Cet. II, Tahun 1421 H/2000 M, Dar al-Balansiyah, Riyadh, Fatwa no. 3782.
[7]. HR. at-Thabrani, dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ no. 3797.
[8]. Lihat Tafsir al-Qur’ân al-Karîm, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Cet. I, 1423 H, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, 3/358.
[9]. Tentang disyariatkannya menunda shalat Zhuhur karena cuaca yang sangat panas disebutkan dalam hadits Abu Hurairah riwayat al-Bukhâri dalam Kitab Mawâqît as-Shalâh, bab al-Ibrâd bi azh-Zuhr fi as-Safar, no. 537. Dan Muslim dalam Kitab al-Masâjid wa Mawâdhi’ as-Shalâh, Bab Istihâb al-Ibrâd bi azh-Zhuhr fi Syiddati al-Harri, no. 615.
[10]. Diangkat dari Talqîh al-Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-34 dengan penyesuaian dan penambahan.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4243-kaidah-ke-44-ibadah-bertingkat-tingkat-sesuai-dengan-maslahat-yang-mengiringinya.html